Mediajabar.id – INDRAMAYU
Rekonstruksi kasus pembunuhan terhadap Putri Apriyani oleh seorang oknum polisi yang bertugas di Polres Indramayu kembali memunculkan sorotan tajam, pihak keluarga korban mengaku tidak diberi kesempatan untuk menyaksikan langsung jalannya rekonstruksi.
Padahal menurut Toni RM kuasa hukum keluarga korban, hal tersebut justru penting untuk menjaga transparansi penanganan kasus.
“Keluarga korban ini tidak bisa menyaksikan. Padahal andai saja keluarga diberikan akses, ini justru baik untuk kepolisian juga agar tidak timbul kecurigaan adanya perlakuan khusus,” tegas Toni, Jumat (12/9/2025).
Menurutnya, alasan pihak kepolisian yang hanya memperbolehkan pendampingan pengacara tersangka merujuk pada KUHAP, tidak serta-merta bisa dijadikan dasar untuk melarang keluarga korban melihat jalannya rekonstruksi.
“Dalam KUHAP memang disebutkan bahwa yang mendampingi tersangka adalah pengacara. Tapi untuk keluarga korban, tidak ada larangan menyaksikan. Kalau tidak ada larangan, maka sebenarnya polisi juga tidak berwenang melarang,” jelasnya.
Meski tidak bisa menyaksikan langsung, pengacara keluarga korban tetap menggali informasi dari hasil rekonstruksi. Ia memaparkan keterangan dan peragaan tersangka, motif pembunuhan Putri Apriyani didasari keputusasaan pelaku setelah menggunakan uang korban senilai Rp32 juta yang semula diperuntukkan gadai sawah.

“Dari rekonstruksi terungkap, sekitar pukul 03.00 dini hari pelaku bangun tidur dan baru terpikir untuk menghabisi korban. Alasannya karena uang sudah habis digunakan, bahkan ia juga sempat meminjam di koperasi Polri atas nama rekannya berinisial I sebesar Rp24 juta yang disebut-sebut untuk trading. Karena tidak ada jalan keluar, korban dibekap dengan bantal, lalu dicekik hingga meninggal sekitar pukul 05.04,” ungkap pengacara.
Setelah itu, tersangka sempat kembali ke Polres Indramayu dan mencoba gantung diri, namun gagal. Lalu kembali ke kosan, dan muncul niat untuk membakar korban dengan dalih ingin ikut mati terbakar.
Namun menurut pengakuannya, ia keluar dari kamar kos karena merasa kepanasan. Rekaman CCTV menunjukkan tersangka meninggalkan lokasi sekitar pukul 08.00 pagi sebelum akhirnya melarikan diri.
Toni RM menegaskan bahwa hasil rekonstruksi tersebut memperkuat adanya dugaan unsur perencanaan dalam kasus ini. Oleh sebab itu, ia meminta agar penyidik Polres Indramayu menerapkan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, bukan hanya pasal 338 KUHP.
“Kalau hanya dikenakan pasal 338, ancamannya 15 tahun. Artinya, setelah dipotong remisi dan hak bebas bersyarat, pelaku bisa keluar dalam 8–9 tahun. Ini jelas tidak adil. Unsur perencanaan jelas terpenuhi, maka harusnya pasal 340 diterapkan, dengan ancaman maksimal hukuman mati,” tegasnya.
Pihak keluarga bersama tim kuasa hukum menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga ke pengadilan, agar hukuman yang dijatuhkan benar-benar setimpal dengan perbuatan pelaku.